Tulisan ini merupakan tulisan Bapak Jansen Sinamo yang dikenal sebagai Guru Etos Indonesia. Merupakan Kehormatan bagi kami dapat menyebarkan buah tangan beliau dalam blog kami ini.
Tulisan ini akan kami bagi dalam 4 bagian. Semoga bermanfaat dan dapat membangkitkan Etos kerja yang lebih baik dalam diri kita semua.
Pada akhir Perang Dunia Kedua, Jerman dan Jepang
kalah telak dan luluh lantak oleh Sekutu. Tetapi tak sampai 50 tahun kemudian, Jerman dan Jepang masing-masing bertiwikrama menjadi
bangsa paling maju di Eropa dan Asia baik secara sains-teknologis
maupun bisnis-ekonomis. Mengapa bisa demikian?
Jawabnya ditemukan di wilayah rohani. Tepatnya, etos dan budaya kerja mereka
ternyata tidak ikut hancur lebur. Yang hancur cuma gedung, jalan raya, dan
infrastruktur fisik lainnya. Tetapi the
spirit within their heart tetap utuh. Dan inilah makna pertama dari kata etos.[1]
Kiranya semua
bangsa perlu belajar dari kedua bangsa ini. Menurut Max Weber (1905)[2], intisari budaya dan etos kerja bangsa Jerman
dapat disarikan sebagai berikut:
2.
Berdisiplin tinggi.
3.
Bekerja keras.
4.
Berorientasi pada kesuksesan material.
5.
Hemat dan bersahaja
6.
Tidak mengumbar kesenangan.
7.
Menabung dan berinvestasi.
Di
Timur, orang Jepang menghayati Etos Bushido (etos para samurai = the
way of the samurai) yang bersumber dari perpaduan filsafat Konfusianisme, Buddhisme, dan Shintoisme yang kemudian merupakan karakter dasar
budaya kerja bangsa Jepang.[3] Etos
Bushido menurut Robert Bellah (1957) tersebut
terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut:
1.
Gi:
Keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan
kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian
yang demikian adalah kematian yang terhormat.
2.
Yu:Berani
dan bersikap kesatria.
3.
Jin:
Murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama.
4.
Re:Bersikap
santun; bertindak benar.
5.
Makoto: Bersikap tulus yang setulus-tulusnya; bersikap sungguh yang
sesungguh-sungguhnya; tanpa pamrih.
6.
Melyo: Menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan.
7.
Chugo:
Mengabdidan loyal.
Kiranya
juga jelas, kemajuan Jepang dalam kancah perekonomian dunia dapat dipahami sebagai
akibat logis dari etos kerja di atas. Manajemen
Jepang yang berintikan kaizen (proses
perbaikan inkremental berkesinambungan) jika diperiksa dengan saksama, memang hanya mungkin berhasil jika didukung
oleh etos kerja Jepang di atas atau yang setara dengannya.
Karena
itu sangat kuatlah alasan bagi setiap pemimpin dan guru untuks ungguh-sungguh mengembangkan
etos kerja segenap warga organisasinya.
Tanpa etos yang sesuai, maka keberhasilan yang dicita-citakan hanyalah impian kosong di siang-bolong; artinya kita tetap edan di zaman edan yang semakin edan ini.
Selanjutnya, berikut ini dengan
ringkas dipaparkan
8 Etos KerjaProfesional,
yang adalah juga roh keberhasilan yang penuh semangat, penuh kesusilaan, dan sarat moralitas
luhur.
Etos 1: Kerja adalah
Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Kebersyukuran
Rahmat
adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa atau prstasi kita, tetapi karena kebaikan
sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan berterimakasih.
Kerja adalah rahmat, maka harus disyukuri setidaknya
karena dua alasan. Pertama, kerja secara hakiki adalah rahmat Tuhan; lewat
pekerjaan hidup kita dipelihara-Nya. Kedua, di samping upah finansial kita
juga menerima banyak sekali faktor plus dari pekerjaan, misalnya kesempatan
belajar, mengunjungi negeri asing, membangun relasi dengan banyak orang, dan
sebagainya. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga.
Karena
itu kita akan tergerak untuk bekerja dengan hati yang
ikhlas dan tulus. Bekerja tidak sambil bersungut-sungut, wajah merengut, bibir mengeluh,
mulut mengaduh, serta hati menggerutu dan mengomel; karena kita sadar bekerja adalah bentuk terima
kasih kita kepada Tuhan, negara, atau pemilik perusahaan dan manajemen yang
telah membuka lapangan kerja.Kita
telah lebih dahulu menerima dengan limpah, maka kita pun patut bekerja dengan
rasa syukur yang berlimpah pula.
Menyadari
bahwa rahmat selalu melimpah, kita pun terimbas untuk bermental limpah terhadap
sekeliling kita, sehingga lama-kelamaan akan membentuk karakter limpah ruah (abundance
character). Penampakannya bermacam-macam:
senang menolong, tak kenal pelit, tak takut
kekurangan, selalu merasa ada alternatif, mampu memberi kemudian menerima,
bersedia menabur kemudian menuai, bersikap kontributif dan positif.
Orang
berkarakter limpah ruah memiliki jiwa besar karena sadar bahwa Sang
Maha Pemberi selalu memberkati
kita dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati bersyukur, dan jiwa besar kita
selalu diliputi sukacita dan rasa bahagia. Sukacita kerja pada gilirannya membuat kita selalu produktif,
bebas dari perasaan tertekan, sehingga mampu menjadi aktor positif dalam menciptakan
suasana kerja yang ceria dan gembira, serta selalu menjadi protagonis dan tak pernah
antagonis.
Etos 2: Kerja adalah Amanah;
Aku Bekerja Benar Penuh Tanggung Jawab
Amanah adalah titipan berharga yang dipercayakan pada
kita. Melalui kerja kita menerima banyak amanah sehingga wajiblah kita bekerja dengan
benar penuh tanggung jawab.
Pemilik modal menitipkan usahanya, manajemen mempercayakan
tugas-tugas manajerial, pelanggan mengandalkan kontinuitas pasokannya, dan
pemasok mempercayakan barangnya dengan pembayaran kemudian.
Keluarga juga menitipkan amanah: agar kita selalu membawa
pulang nafkah halal setiap hari ke rumah melalui pekerjaan yang baik dan
positif. Kita juga menerima pekerjaan sebagai amanah dari negara, bangsa, dan Tuhan kita. Pendeknya,
banyak kebutuhan pihak lain, yakni para konstituen-klien-pelanggan dipercayakan pada kita. Konsekuensi moralnya, kita dituntut melaksanakan
amanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya; tidak boleh
dikorupsi, dimanipulasi, dikurangi, atau dicuri. Kejujuran dan integritas
menjadi sangat pokok dalam pelaksanaan amanah.
Sebagai pemegang amanah kita harus tepercaya (andal
secara moral) dan kompeten (andal secara teknis) dalam pelaksanaan amanah
tersebut. Konsekuensi logisnya: kita akan bekerja dengan sistematik dan
terencana dan rencana kerja tersebut kita kerjakan dengan saksama hingga tuntas: tidak
boleh menunda-nunda dan semena-mena, melainkan merampungkannya sampai beres dengan
benar.
Jika seseorang mampu bekerja penuh
amanah, maka secara psiko-spiritual akhlak tepercaya penuh
kompetensi semakin terbentuk
kuat dalam dirinya. Di pihak lain,
sepasang akhlak ini menjadi jaminan sukses bagi pelaksanaan
amanah itu sendiri. Dalam kondisi inilah kita berada dalam modus melakukan
pekerjaan yang benar, dengan tujuan yang benar, dengan sikap yang
benar, dengan metoda yang benar, serta menggunakan data yang benar pula.
Secara empiris, kita banyak
melihat bahwa orang yang sukses mengemban amanah kecil akan mendapat amanah
yang lebih besar. Lagi-lagi, karakter
tepercaya penuh kompetensi tampil sebagai modal sukses. Boleh dikatakan, di
atas karakter inilah dibangun prestasi kerja yang pada gilirannya membuat kita
berharga dan dihargai para konstituen-klien-pelanggan kita.
Bersambung
No comments:
Post a Comment